Jumat, 19 Agustus 2011

Kenapa belum nikah juga? (seri cerpen)

"Kebahagiaan adalah bertemunya harapan dan realita pada momen yang tepat."
Ya, kira-kira begitulah kata (sok) bijak yang keluar dari pikiran ini, betapa tidak bahagia, sudah menuntun motor beberapa puluh meter, di bawah sengatan matahari, sendirian lagi... mudah-mudahan didepan segera menemukan tukang tambal ban.., dan alhamdulillah, akhirnya dapet juga. Bahagia bener…! Sebaliknya masalah adalah tak selarasnya, antara harapan dan realita, seorang istri mengharap suaminya jujur, tapi ternyata sang suami malah berbohong, masalah!, pebisnis inginnya omzet bertambah, kenyataannya malah stagnan, itu juga masalah. Jadi kebahagiaan itu sebenarnya tak mesti rumit, megah atau luar biasa…, baru akan bahagia kalau sudah memiliki ini dan itu, padahal hampir setiap hari kita bisa merasa bahagia, kalau kita peka, bahwa ternyata ada banyak realita yang sesuai harapan. Pas kebelet, ingin segera kebelakang…, alhamdulillah… wc tersedia, bahagia..!, pas haus, ingin minum, alhamdulillah… air tersedia, bahagia juga, dst.  Tak ada yang salah sih, menargetkan ini dan itu, sebagai parameter kebahagiaan, tapi jangan sampai mengabaikan kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang senantiasa hadir setiap hari.
“bang.., tambal..,” sambil saya standar dua kan motornya. Selanjutnya, giliran si tukang tambal memainkan perannya. Mencongkel, menarik, seperti sudah bekerja dibawah sadar, tanpa proses berfikir lagi. Setelah ban dalam dikeluarkan, lalu dia masukan kedalam ember, untuk apa? untuk mencari dimana lubang bocornya. Kalau ada yang bocor, pasti akan mengeluarkan gelembung di ember.
"nih mas, bocornya ada 2", jelasnya, "mesti diganti ban dalamnya", perintahnya…
"ga bisa ditambal dulu bang..?", tanya saya (kan lumayan selisih harganya)
"bisa, tapi dari pada nanti bocor lagi, bisa kecelakaan!", jawabnya.., waduh, nyerah deh, posisi saya sudah lelah, apalagi strategi marketing "nakut-nakutin" nya yang tampak lebih menyeramkan dengan wajah perseginya.
"ya udah bang…, ganti aja…"

Sambil menunggu proses penggantian ban, biasa…, pikiran mulai menerawang.., "pilosofi tambal ban, cari lubang kebocoran, lalu tambal" ya, begitulah biasanya, kalau para tukang tambal ban (yang rajin), menyelesaikan misinya. Kalau bocor adalah masalah, maka ia mencari dulu letak kebocorannya dimana, satu atau beberapa? begitupun dalam setiap masalah kita, sebaiknya kita telusuri dulu dimana akar pangkal masalahnya, baru kita tentukan penyelesaiannya.
Coba kita aplikasikan, misal masalah ...apa ya…., masalah malas bangun subuh, sudah pasang alarm, tapi masih saja telat. coba ditelusuri, sebetulnya apa penyebab induknya..? bisa jadi karena tidur terlalu larut dengan perut kenyang, berarti tidur agak awal, dan hindari kekenyangan. Tapi ada juga kok, sudah tidur awal, tetep kesiangan..?
Berarti bisa jadi akarnya adalah masalah pemahaman, shalat malam, atau shalat subuh, tak begitu berharga, konsekuensi jika telat atau bahkan tidak mengerjakannya tidak begitu merisaukan, buktinya tak terjadi apa-apa?, berarti ini masalah pemahaman, tentang keutamaan shalat malam/sahalat subuh, tentang pahala dan dosa, serta tentang syurga dan neraka. Tapi sudah tahu, kalau shalat subuh itu wajib, shalat tahajud itu luar biasa, tetep aja sudah bangun, tidur lagi…? Berarti ini masalah keimanan, hati yang keras, mata yang banyak melihat yang tak semestinya, pikiran yang sering kotor, lisan yang sering berbohong dan menggunjing, makan minum yang syubhat, dan seterusnya, amal-amal kemaksiatan, berakumulasi memberatkan diri untuk beribadah. Jadi definisikan masalahnya, cari titik pangkalnya, lalu perbaiki ..!

“udah beres belum bang ?” Tanya saya, memecah konsentrasinya.
“bentar lagi..” jawabnya, sambil memasang kembali ban belakang.
“ngomong2, abang tidur di sini juga?” sambil melihat ruangan, hampir mirip bengkel daripada kamar.
“iya “ jawabnya singkat.
“belum nikah ya bang?” ups, kenapa nanya itu, ga sopan banget.
“gimana mau nikah? hidup sendiri aja susah!” kira-kira begitulah jawabannya.
Heups, mulut menutup, ga mau memperpanjang obrolan, apalagi sok menasihati "coba aja nikah bang, siapa tau hidupnya jadi ga susah!", atau  sok pahlawan "kalau saya bantu uang buat nikah, berani ga minggu besok nikah?"
Berhenti dari obrolan, kembali menerawang..., jumlah populasi perempuan yang lebih banyak dari pada laki-laki..., data KDRT, perselingkuhan dan perceraian yang makin meningkat…, berita hamil diluar nikah yang kian marak…, banyak bayi-bayi dibunuh bahkan sebelum lahir, sebagiannya dibuang ditong sampah..., anak lahir tanpa mengetahui orang tuanya siapa?
Masalah yang benar-benar berat dan kompleks!, Sebetulnya apa sih titik pangkalnya? Apakah peningkatan jumlah kelahiran yang tak terbendung? lalu program KB di luncurkan? Saya pikir bukan itu, toh dengan anak 2, belum tentu masalah ini selesai. Atau media TV, majalah  dan internet, yang merangsang dan memperlihatkan hal-hal negatif? Ya.. bisa jadi, tapi media kan punya manfaat lain, jadi kita tak bisa menutupnya. Lalu …
"udah mas..", ucapannya membuyarkan lamunan.
"berapa bang?", tanya saya,
"40 ribu aja", jawabnya,
(apa ? “aja” !, beuh, kenapa ga ditanya sejak awal, perasaan harga wajar ga segitu deh..)
Yo wes, ikhlaskan aja..,kasian kalau ga ikhlas, nanti jadi ga berkah buat dianya. Ok, lanjutkan perjalanan.., buzz…
Kembali ke lamunan tadi, kok saya jadi berfikir, bahwa pernikahan menjadi -salah satu- titik pangkal solusinya, maksudnya, menunda menikah, apalagi sampai tidak menikah, bisa menjadi saham terciptanya masalah sosial bahkan kriminal. Betapa tidak, di tengah media yang menggila, para pemuda yang belum menikah, lengkap dengan gairah biologisnya yang sedang terik-teriknya, membuka lebar peluang kejahatan, dari mulai seks bebas, hamil diluar nikah, hingga pembunuhan bayi tak berdosa.
Di sisi lain, para perempuan yang jumlahnya berkali lipat lebih banyak dari laki-lakinya, bisa tetap produktif, jauh dari kemurungan, atau pengucilan diri dari lingkungan. Pernikahan sebagai jalur sah, tak akan melahirkan anak dengan ketidakjelasan nasab (garis keturunan), bahkan bentuk metamorfosa pernikahan, yaitu poligami -dengan berbagai pro kontranya- bisa meminimalisir perselingkuhan dan penceraian, mungkin..! (kok saya jadi sok tau gini..)
Lalu pertanyaannya, kenapa pernikahan jadi demikan angker? kenapa masih menunda nikah sih? apa titik pangkal masalahnya?
Mmhhh, ok, sekarang kita telusuri, sebenarnya dimana letak “kebocoran” nya…, bukankah pernikahan itu membahagiakan...? bukankah dulu Rasulullah saw senantiasa memotivasi sahabatnya untuk menikah?
Sebagaimana dalam riwayat Sahal bin Sa`ad ra., ia berkata: Seorang wanita datang kepada Rasulullah saw. dan berkata: Wahai Rasulullah, aku datang untuk menyerahkan diriku kepadamu. (ini mengajarkan kita, bahwa, ternyata tak masalah, kaum hawa proaktif duluan)
Lalu Rasulullah saw. memandang perempuan itu dan menaikkan pandangan serta menurunkannya kemudian beliau mengangguk-anggukkan kepala. (ini mengajarkan kita, bahwa, melihat calon suami/istri itu tak masalah)
Melihat Rasulullah saw. tidak memutuskan apa-apa terhadapnya, perempuan itu lalu duduk. Sesaat kemudian seorang sahabat beliau berdiri dan berkata: Wahai Rasulullah, jika engkau tidak berkenan padanya, maka kawinkanlah aku dengannya. (ini mengajarkan kita, jangan malu-malu mengungkapkan niat nikah)
Rasulullah saw. bertanya: Apakah kamu memiliki sesuatu? Sahabat itu menjawab: Demi Allah, tidak wahai Rasulullah! Beliau berkata: Pulanglah ke keluargamu dan lihatlah apakah kamu mendapatkan sesuatu? Maka pulanglah sahabat itu, lalu kembali lagi dan berkata: Demi Allah aku tidak mendapatkan sesuatu! Rasulullah saw. bersabda: Cari lagi walaupun hanya sebuah cincin besi! Lalu sahabat itu pulang dan kembali lagi seraya berkata: Demi Allah tidak ada wahai Rasulullah, walaupun sebuah cincin dari besi kecuali kain sarung milikku ini! Sahal berkata: Dia tidak mempunyai rida` (kain yang menutupi badan bagian atas). Berarti wanita tadi hanya akan mendapatkan setengah dari kain sarungnya. Rasulullah saw. bertanya: Apa yang dapat kamu perbuat dengan kain sarung milikmu ini? Jika kamu memakainya, maka wanita itu tidak memakai apa-apa. Demikian pula jika wanita itu memakainya, maka kamu tidak akan memakai apa-apa. Lelaki itu lalu duduk agak lama dan berdiri lagi sehingga terlihatlah oleh Rasulullah ia akan berpaling pergi. Rasulullah memerintahkan untuk dipanggil, lalu ketika ia datang beliau bertanya: Apakah kamu bisa membaca Alquran? Sahabat itu menjawab: Saya bisa membaca surat ini dan surat ini sambil menyebutkannya satu-persatu. Rasulullah bertanya lagi: Apakah kamu menghafalnya? Sahabat itu menjawab: Ya. Lalu Rasulullah saw. bersabda: Pergilah, wanita itu telah menjadi istrimu dengan mahar mengajarkan surat Alquran yang kamu hafal." (Shahih Muslim, hadist no 2554)
Penggalan terakhir mengajarkan kita, alih-alih mempersulit, tapi Rasulullah mempermudah, dan sangat ingin sahabatnya segera menikah. bukannya mempersulit "kamu kerja di mana, berani melamar anak saya?", "belum pa.., masih bisnis kecil-kecilan",  "apa? udah pulang sana! emangnya anak saya mau dikasih makan apa?", tapi Rasulullah saw dengan mempermudahnya, menyuruh sahabat tadi memastikan, benarkah tidak ada sesuatu yang dimiliki di rumah? coba cek lagi…! Coba tanya ke anggota keluargamu, barangkali ada yang bisa membantu untuk mas kawinnya. "tidak ada ya rasul..". Rasul tak berhenti memotivasi, "ga usah yang mewah-mewah, walaupun cincin besi, ada ga?", "ga ada ya rasul, saya cuma punya sarung ini" (ya ..ampuun, ga tanggung-tanggung miskin nya, barangkali ingin menunjukan pada kita contoh ekstrim pun bisa menikah..).
Harapan pun sirna, sahabat tahu diri, dan memutuskan pergi, tapi Rasulullah saw dengan bijaknya, tak berhenti memotivasi dan membantu mencari solusi, disuruhnya ia kembali, dan akhirnya, sahabat tadi jadi menikah, dengan mas kawin hafalan surat Al-Qur’an, dan mengajarkan pada istrinya kelak.
Luar biasa! betapa Rasulullah saw, tak ingin mempersulit umatnya menikah, yang ini mentok, cari jalan lain, yang ini ga bisa, cari cara lain, supaya bisa menikah, dan sejarah mencatatnya, ketika islam sebagai rahmatan lil alamin dijalankan, bagaimana sistem perbudakan jahiliyah bisa turun drastis, bagimana masyarakat madinah yang adil sejahtera bisa terwujud, karena terbangun dari keluarga-keluarga harmonis, tak ada lagi pembunuhan bayi, kehormatan perempuan diangkat oleh islam, sehingga perzinahan, akan diganjar dengan hukuman amat berat didunia (apalagi dikhirat), hingga perceraian menjadi demikian sulit, dan rujuk demikian mudah, dan perselingkuhan amat dijauhi, lalu islam membolehkan (bukan memerintahkan) poligami.
Jadi, kapan nikah?
Wallohu’alam, mohon maaf & terimakasih
Wassalamu’alaikum wr wb

http://www.forumpembangunan.org/artikel/125-kenapa-belum-nikah-juga.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar