Senin, 05 September 2011

Ironi Perhitungan Harga BBM

yuniawan on Jun 20th 2008

Mari kita renungkan ??!! 
Siapa penguasa ladang minyak di Indonesia ? Harusnya, berdasarkan UUD 1945 pasal 33, penguasa semua itu adalah rakyat Indonesia. Namun apa yang terjadi ? Dalam kenyataannya, jika Pertamina diasumsikan sebagai rakyat Indonesia misalnya, ternyata Pertamina pun, tak sampai menguasai separuh dari seluruh eksplorasi minyak yang ada di Indonesia.
Bahkan mungkin Pertamina menguasai tak sampai 40 % dari total kekayaan minyak kita. Ini belum lagi disertakan ladang minyak bari di Aceh, yang konon melebihi cadangan minyak milik Arab Saudi.
Dari kenyataan ini saya menjadi kian memahami, mengapa Indonesia begitu sakit terguncang, saat harga minyak dunia naik. Sementara saudara sesama produsen yang ada di Timur Tengah, tampak begitu “nyaman” mengomentari lonjakan harga minyak dunia. Bahkan, Arab Saudi pun berani untuk membatasi ekspor minyaknya, hanya untuk melindungi rakyatnya agar tetap merasa sebagai bagian dari negara kaya minyak. Mereka tak mau terburu mencukupi kebutuhan ekternal (ekspor), jika belum yakin akan stabilitas minyak dalam negerinya. Dan itu bagus ! Selain “terkesan” berani, mereka juga cerdik.
Salah satu kunci yang memposisikan mereka sebagai produsen dunia-yang tidak merana di negeri sendiri- adalah dengan melarang kepemilikan asing di negerinya. Artinya, sebesar apapun modal asing yang masuk, harus memposisikan orang lokal sebagai pemilik. Jadi, tidak ada lagi kisah orang asing yang bisa memiliki pulau seperti di Indonesia. Atau Indonesia lantas tidak lagi menjadi jujugan warga Singapura yang karena merasa sulit untuk memiliki sepetak tanah di negerinya, tapi malah bisa sesukanya untuk menjadi seorang tuan tanah di Indonesia. Bahkan, pasir di Indonesia, dengan mudahnya mereka angkut untuk memperluas wilayahnya.
Harusnya, UUD 1945 pasal 33 benar-benar diterjemahkan dengan tegas, keras, dan lugas dalam setiap UU dan kebijakan lain di Indonesia. Sehingga, Indonesia tetap berpeluang untuk menjadi raja di negeri sendiri. Berperilaku demikian bukan berarti anti globalisasi. Tapi hanya berusaha untuk mengagendakan masa depan anak cucu Indonesia. Bisa jadi, anak cucu kita nanti, akan mengontrak kepada warga asing, hanya untuk berteduh di negerinya sendiri. Saat ini saja, sudah banyak warga kita yang mengemis pekerjaan kepada orang asing yang terlanjur memiliki modal kuat di Indonesia. Sementara di sisi lain, pendidikan belum menjadi prioritas utama bagi pembangunan bangsa ini.
Seperti yang pernah ditulis, BLT tentu bukan solusi yang tepat. Sementara subsidi BBM pada setiap “dialog” anggaran kita, akan selalu menjerumuskan bangsa ini. Beberapa asumsi (perhitungan), akan membuat kita bingung sepanjang hari. Dari salah satu media saya coba memahami, bahwa :
Jika harga minyak mentah ditaksir US $ 100 per barel- sekarang sudah pernah menginjak US $ 150 per barel- maka harga minyak mentah per liter mencapai US $ 0.63 Ini diambil dari asumsi 1 barel = 159 liter. Dan jika sekarang kurs US $ 1 = Rp. 9.300, dan dibulatkan menjadi Rp. 10.000 maka harga minyak mentah menjadi Rp. 6.300 per liter.
Jika saja dibutuhkan biaya pengelolaan untuk menjadi premium sebesar Rp. 630 per liter, yang diambil dari US$ 10 per barel, maka jika pemerintah masih menjual dengan harga lama (Rp.4.500), akan rugi sebesar Rp. 2.430 per liter. Dengan perhitungan, harga minyak mentah Rp. 6.300 ditambah biaya pengolahan sebesar Rp. 630, dikurangi harga jual Rp. 4.500
Atas perhitungan inilah, kemudian pemerintah menjadi terbebani, dan perlu mensubsidi. Dan dampaknya, seperti yang terekspose di media, anggaran pemerintah ambruk, dan terpaksa menutupinya dengan mengurangi subsidi, dan menaikkan harga BBM.
Namun, yang saya tidak habis pikir-mungkin karena kebodohan saya- di sisi lain, pemerintah justru malah menghamburkan uang melalui BLT. Yang ada di benak saya, mana mungkin, anggaran yang timpang, dan terpaksa ditutup dengan mengurangi subsidi, tetapi dalam waktu bersamaan, bisa memberikan dana segar secara tunai.
Jika kita coba hitung, menurut data BPS 2007 jumlah penduduk miskin kita “hanya” 37 juta orang. Jika semua berjalan lancar, maka akan ada Rp. 3,7 triliun yang disisihkan. Dan pemerintah masih ada sisa uang segar sekitar Rp. 31 triliun. Mengapa demikian ?
Nah, mari kita cermati. Ketika perhitungan minyak di atas, dipatok dengan harga pasar US $ 100 per barel, maka sejatinya Indonesia sudah kelebihan Rp. 35 triliun. Di sisi lain, anggaran negara mengaku telah mensubsidi rakyat hingga Rp. 153 triliun.
Di sini letak permasalahannya. Sebagai negara produsen minyak, Indonesia tidak semestinya membeli minyak berdasarkan harga pasar, yakni US $ 100 per barel. Pemerintah -atas nama rakyat- sebagai pemilik ladang minyak, sudah semestinya tidak membeli sebesar itu dari ladangnya sendiri. Merujuk UUD Pasal 33, Indonesia tidak perlu membeli minyak dari pengimpor manapun, dan wajar saja jika sesukanya mandi dengan gelimang minyak.
Atau yang paling parah, meski harus impor dengan harga US $ 100 per barel, sebenarnya pemerintah juga masih bisa surplus hingga Rp. 35 triliun (asumsi premium Rp. 4.500). Karena harusnya 70 % dari produksi BBM adalah hak bangsa Indonesia.
Jadi pantas saja, negara produsen Timur Tengah, saat ini bisa tidur pulas, dan bermimpi indah. Pasalnya, mereka tidak harus membeli untuk konsumsi dalam negeri. Dan tetap bisa mengambil untung, karena mereka adalah bos (raja) di negerinya sendiri.
Sementara di Indonesia, justru melahirkan ironi. Wakil Ketua KPK baru saja menengarai, adanya kebocoran antara para pengeksplorasi minyak kita dengan pengawas yang ternyata juga dipegang oleh orang asing. Sementara BP Migas, mengaku cukup puas dengan menerima laporan dari auditor asing.
Dan anehnya, BP Migas langsung membela auditor asing, dan malah menunjuk Pertamina sebagai pihak yang paling berpotensi menyebabkan kebocoran. Jika Pertamina melakukan korupsi sekalipun, mungkin rakyat akan cukup rela, karena dolar minyak itu tetap dimakan oleh bangsanya sendiri, dan bukan oleh mulut bangsa lain…!!! Bukan begitu, rakyatku..?
* Diunduh dari berbagai sumber
http://yuniawan.blog.unair.ac.id/archives/133

Tidak ada komentar:

Posting Komentar