[Ar-Royyan-10183] Mampu Pergi Haji tapi Tidak Mau Berangkat
Agus RasyidiSun, 18 Sep 2011 22:47:15 -0700
Mampu Pergi Haji tapi Tidak Mau Berangkat Pertanyaan 4: Apa hukumnya bagi orang yang telah meninggal dunia namun ia belum melaksanakan ibadah haji disebabkan pelit atau sibuk, sedangkan ia memiliki kemampuan untuk melakukannya? Apakah bisa salah seorang anaknya mengambil sebagian dari hartanya dan pergi melaksanakan haji atas namanya? Jawaban: Barangsiapa yang mampu untuk melakukan perjalanan ibadah haji, dengan kata lain, ia berbadan sehat dan memiliki kemampuan membiayai seluruh nafkah dan keperluan haji, akan tetapi ia bermalas-malasan dan lalai dalam melaksanakannya sehingga akhirnya ia meninggal dunia, maka berarti ia telah melakukan dosa yang nyata, karena ia meninggalkan secara sengaja salah satu rukun dari rukun Islam. Dan berarti ia juga telah menyia-nyiakan suatu kewajiban yang asas/pokok. Kita telah memaklumi sesungguhnya meninggalkan apa yang diperintahkan lebih besar dosanya jika dibandingkan dengan melakukan hal yang dilarang. Allah SWT. berfirman: "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (Ali Imran: 97) Diantara ulama ada yang menyatakan, "Sesungguhnya manusia jika meninggal dunia sedangkan ia belum melaksanakan haji, maka diambil sebagian dari hartanya dan digunakan oleh orang lain yang melaksanakan haji atas namanya. Hal ini disebabkan ia telah melakukan kesalahan dalam masalah haji ini. Sedangkan haji adalah ibadah jasmani dan harta, sebagaimana hal ini juga dilakukan pada masalah zakat. Karena zakat merupakan hutang yang harus dibayar, dan Allah telah berfirman dalam pembagian warisan yang artinya: "Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya memperoleh seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (An-Nisa': 11) Di sini, Allah tidak membatasi maksud hutang di atas, apakah ia berhubungan dengan hak Allah atau hak hamba (manusia), karena ada hutang yang berhubungan dengan hak Allah dan ada juga yang berhubungan dengan hak manusia. Dan Nabi Muhammad SAW telah bersabda kepada seorang wanita yang bertanya kepada beliau tentang ibunya yang telah bernazar untuk melaksanakan haji, namun sebelum ia melaksanakan haji tersebut ternyata ia telah meninggal dunia, "Apakah saya wajib melaksanakan haji atas namanya?" Maka Nabi SAW menjawab, "Bagaimana menurutmu, jika seandainya ibumu memiliki hutang, apakah engkau akan membayarnya?" Wanita itu menjawab, "Ya, pasti aku akan membayarnya", maka Nabi berkata kembali, "Dan hak Allah lebih utama untuk dibayar". Oleh karena itu, sebagian ulama berkata, "Diambil sebagian dari warisan yang ditinggalkannya sebelum dibagikan sesuai dengan nafkah dan biaya yang diperlukan untuk melaksanakan haji atas namanya. Namun, sebagian ulama lain menyatakan, "Tidak dilakukan tindakan itu, kecuali jika ia meninggalkan wasiat, maka dikeluarkan sebagian harta itu disebabkan wasiat tersebut." Namun yang terpenting adalah, orang yang lebih utama untuk melaksanakan haji atas namanya jika ia sebelumnya tidak dapat melaksanakan haji adalah anak-anaknya, baik itu anak laki-laki ataupun perempuan. (Sumber: DR. Yusuf Al-Qardhawi, miatu sualin 'anil hajj wal 'umrah) http://www.al-kauny.com/index.php?option=com_k2&view=item&id=377:mampu-pergi-haji-tapi-tidak-mau-berangkat Apakah Haji harus Disegerakan atau Dapat Ditunda? Pertanyaan 3: Apakah hukumnya bagi orang yang telah memiliki kesiapan jasmani dan kemampuan dari segi materi (harta), namun ia tidak segera melaksanakan ibadah haji? Jawaban : Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi hal ini, apakah haji harus segera dilaksanakan begitu seseorang memiliki kemampuan atau boleh ditunda? Ulama yang menyatakan bahwa haji wajib dilakukan dengan segera bersandarkan kepada beberapa hadits, di antaranya. "Bersegeralah dalam melaksanakan ibadah haji, karena setiap orang tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada dirinya". Di dalam hadits lain dinyatakan, "Kadangkala yang sehat pun bisa menjadi sakit dan boleh jadi hewan yang akan ditungganginya akan hilang". Dengan kata lain bahwa setiap keadaan bisa saja berubah, yang sehat bisa menjadi sakit, yang muda akan menjadi tua, dan yang hidup bisa pula mati, sedangkan kematian datang tanpa disangka-sangka. Maka sepatutnyalah bagi manusia untuk membebaskan dirinya dari kewajiban yang dibebankan kepadanya serta melaksanakannya selagi ia mampu, sementara tidak ada rintangan yang menghalanginya, dan inilah pendapat yang pertama. Sedangkan pendapat yang lain menyatakan bahwa hadits-hadits ini menunjukkan bahwa menyegerakan haji adalah sunnah (mustahab), Allah berfirman: "Oleh karena itu berlomba-lombalah kamu mengerjakan kebaikan." (Al-Baqarah: 148), dan Allah juga berfirman: "Dan segeralah kamu kepada (mengerjakan amal-amal yang baik untuk mendapat) ampunan dari Tuhan kamu." (Ali Imran: 133) Akan tetapi, tidak ada dalil yang menyatakan tentang kewajiban untuk menyegerakan haji. Buktinya Nabi Muhammad SAW tidak melaksanakan haji kecuali di akhir tahun dari kehidupannya, yaitu pada tahun kesepuluh hijrah, dan sebelumnya beliau tidak pernah haji bersama Abu Bakar atau dengan yang lainnya. Sebelum tahun 10 hijrah, kota Mekkah belum ditaklukkan dan berangkat untuk melaksanakan haji belumlah memungkinkan walaupun sebenarnya ibadah haji telah diwajibkan pada tahun keenam hijriyah. Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa kewajiban/ke-fardhu-an haji dapat ditunda, walaupun demikian mereka menyatakan bahwa orang yang telah mampu untuk melaksanakan haji menanggung tanggung jawab. Maksudnya jika ia memiliki kesempatan dan kelapangan untuk melaksanakan haji kemudian ia menunda, tidak melaksanakan, atau bermalas-malasan untuk melaksanakannya kemudian setelah itu ia tidak mendapat kesempatan lagi (dulunya ia kaya kemudian ia menjadi miskin, atau dulu ia sehat dan akhirnya ia sakit) maka ia menanggung perbuatannya itu. Atau dengan kata lain ia mendapat dosa dari tindakannya itu. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Ihya' dalam bab haji menyatakan, "Sesungguhnya haji itu urusan yang paling sempurna dan penutup kehidupan/umur". Di zaman dahulu, orang mengakhiri perjalanan hidupnya dengan melaksanakan haji. Saat sekarang ini, kita bisa mendapati musim-musim haji dan umrah dipenuhi dengan rombongan pemuda. Kebanyakan jamaah haji dan umrah di bulan Ramadhan adalah para pemuda. Segala puji bagi Allah, ini merupakan bukti/pertanda yang baik bagi umat Islam. Menurut pendapat saya, menyegerakan ibadah haji adalah lebih baik karena seseorang tidak bisa menjamin kesehatan dan kehidupannya. Begitu juga dengan rintangan-rintangan yang bisa menghalanginya. Seyogyanyalah ia berlomba dalam kebaikan, menyegerakan pelaksanaan ibadah haji, menuntaskan tanggung jawab yang diembannya, dan selanjutnya ia bisa beristirahat. (Sumber: DR. Yusuf Al-Qaradhawi, mi'atu sualin 'anil hajj wal 'umrah) http://www.al-kauny.com/index.php?option=com_k2&view=item&id=376:apakah-haji-harus-disegerakan-atau-dapat-ditunda? Kewajiban Ibadah Haji Pertanyaan 2: a.. Mengapa Allah hanya mewajibkan ibadah haji sekali seumur hidup bagi orang yang telah mampu untuk melaksanakannya? b.. Dan apakah yang dimaksud dengan "Kemampuan untuk melakukan perjalanan haji" (Istitha'ah)? Jawaban : Haji adalah ibadah yang sangat istimewa. Hal ini disebabkan karena ibadah haji adalah ibadah badan (fisik) dan harta. Shalat dan puasa merupakan ibadah fisik, sedangkan zakat merupakan ibadah harta. Ibadah haji merupakan ritual keagamaan yang menggabungkan antara ibadah badan (fisik) dan harta. Seseorang ketika melaksanakan ibadah haji, ia menggunakan badan dan hartanya. Oleh karena itu, kita melihat bahwa ibadah haji adalah kewajiban yang dikaitkan Allah dengan kemampuan hamba-Nya dalam melakukan perjalanan. Allah berfirman: "Di situ ada tanda-tanda keterangan yang nyata (yang menunjukkan kemuliaannya; di antaranya ialah) Maqam Nabi Ibrahim. Dan siapa yang masuk ke dalamnya aman tenteramlah dia. Dan Allah mewajibkan manusia mengerjakan ibadah haji dengan mengunjungi Baitullah yaitu siapa yang mampu sampai kepadanya. Dan siapa yang kufur (ingkar akan kewajiban ibadah haji itu), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak butuh apapun) dari sekalian makhluk." (Surah Ali Imran: 97 ) Nabi Muhammad SAW ketika menyebutkan rukun Islam yang lima, beliau menyatakan, "Dan melaksanakan ibadah haji ke Baitullah bagi yang mampu". Karena setiap manusia mungkin mampu untuk melaksanakan shalat dan puasa, namun tidak setiap orang mampu untuk pergi ke Tanah Suci. Oleh karena itu, sebagai tanda kasih sayang Allah kepada kita, Dia menjadikan ibadah haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup karena Allah SWT tidak ingin memberatkan manusia dan tidak menghendaki hamba-Nya berada di dalam kesulitan. Allah hanya menginginkan kemudahan dan bukan kesulitan. Allah tidak menyandarkan agama ini kepada perkara-perkara yang menyusahkan. Pembebanan hukum (taklif) di dalam Islam disesuaikan dengan kemampuan manusia itu sendiri. Allah berfirman: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (Surah Al-Baqarah: 286 ) Karena itu, ketika Nabi SAW menyatakan kepada para sahabatnya, "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kalian ibadah haji, maka berhajilah", Lalu di antara sahabat ada yang bertanya, "Apakah pada setiap tahun, wahai Rasulullah?", Rasul diam. Ia kembali mengulangi pertanyaannya, namun Rasul SAW tetap diam, sehingga akhirnya Rasul bersabda, "Kalaulah aku jawab "Ya", maka ibadah haji diwajibkan kepada kalian setiap tahun dan kalian pasti tidak dapat untuk memenuhinya". Karena manusia tidak mampu untuk melaksanakan ibadah haji setiap tahunnya, maka Allah menghendaki kewajiban itu dilaksanakan sekali seumur hidup, ini merupakan keringanan dan rahmat dari-Nya. Jadi, Allah tidak mewajibkan haji kecuali bagi orang yang mampu untuk melakukannya. Sedangkan maksud dari kata "Kemampuan untuk melakukan perjalanan haji (Istitha'ah)" sebagaimana yang dinyatakan oleh beberapa hadits adalah memiliki bekal/harta dan kendaraan. Bekal perjalanan dan kendaraan yang dikendarainya menurut bahasa modern pada saat sekarang ini adalah memiliki nafkah dan bekal untuk melakukan perjalanan ke Baitullah Al-Haram, nafkah untuk tinggal dan bermukim di sana sesuai dengan yang diperlukan. Bekal di sini tergantung kepada keadaan dan kemampuan masing-masing individu. Selain itu, ada syarat-syarat lain seperti kesehatan tubuh, dan terhindar dari sesuatu yang menghalangi perjalanannya. Dengan kata lain, jalan yang ditempuhnya aman dan tidak membahayakan keselamatan. Wabillaahi taufik. . http://www.al-kauny.com/index.php?option=com_k2&view=item&id=373:kewajiban-ibadah-haji Hukum Haji Pertanyaan 1 : Apakah hukum ibadah haji bagi kaum muslim dan muslimat? Jawaban : Ibadah haji adalah suatu ibadah yang diwajibkan oleh Allah. Ia merupakan salah satu ibadah fardhu yang paling suci dan mulia, dan merupakan ritual keagamaan yang paling besar serta ibadah yang paling berbeda jika dibandingkan dengan empat ibadah fardhu lainnya, juga merupakan salah satu rukun utama di antara rukun Islam yang lima. Adapun dalil yang menyatakan ke-fardhu-annya adalah Al Qur'an dan hadits-hadits mutawatir yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW, yang mana dalil-dalil ini telah diterima kebenarannya oleh seluruh umat manusia dari satu generasi ke generasi lainnya sehingga sampai pada saat sekarang ini. Sebagaimana ke-fardhu-annya juga diakui oleh ijma' ulama yang diyakini oleh seluruh mazhab umat Islam. Tentang ke-fardhu-an haji itu cukuplah kita mengambil sebuah firman Allah : "Di situ ada tanda-tanda keterangan yang nyata (yang menunjukkan kemuliaannya; di antaranya ialah) Maqam Nabi Ibrahim. Dan siapa yang masuk ke dalamnya aman tenteramlah dia. Dan Allah mewajibkan manusia mengerjakan ibadah haji dengan mengunjungi Baitullah yaitu siapa yang mampu sampai kepadanya. Dan siapa yang kufur (mengingkari KEWAJIBAN ibadah haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak butuh apapun) dari sekalian makhluk. ( Ali Imran: 97 ). Dalam ayat ini Allah meletakkan kata "wa man kafara" (dan barangsiapa yang kafir/ingkar) pada posisi kata orang yang tidak melaksanakan haji atau menolak kewajibannya atau lain sebagainya. Sedangkan hadits Rasul cukuplah kita mengambil sebuah hadits masyhur yaitu hadits yang diriwayatkan daripada Ibnu Umar yang menyatakan, "Islam didirikan atas lima perkara." dan di dalam hadits itu dinyatakan, "Dan melaksanakan ibadah haji ke Baitullah bagi yang mampu." ( HR. Muttafaq 'alaih ). Dan telah sampai kepada kita secara mutawatir dari Rasulullah SAW tentang manasik haji dan tatacara peribadatannya. Begitu juga ijma' ulama kaum muslimin- dari seluruh mazhab dari zaman ke zaman menyatakan tentang ke-fardhu-an/kewajiban melaksanakan haji. Sampai saat sekarang kami belum mendapatkan seorang ulama pun yang menolak kewajibannya. Sehingga kefardhuan dan kewajiban haji sudah dianggap suatu ibadah agama yang harus dan layak diketahui oleh seluruh umat Islam sebagaimana yang dinyatakan oleh ulama-ulama terdahulu. Ibadah haji adalah ritual keagamaan yang diwajibkan bagi setiap muslim dan muslimat, baik bagi orang Arab maupun bukan Arab, orang timur ataupun barat, laki-laki ataupun perempuan, ketika ia mampu untuk melaksanakannya. Namun yang menjadikan pertentangan di antara ulama adalah "Apakah kewajiban melaksanakan haji ini dalam kadar segera mungkin atau boleh saja ditunda?" Ibadah haji merupakan syiar agama yang diwajibkan hanya sekali seumur hidup, maka jika shalat merupakan ibadah yang wajib dilakukan setiap hari, shalat Jum'at merupakan ibadah yang harus dilakukan setiap minggu (bagi laki-laki), dan puasa Ramadhan adalah syiar agama yang harus dilakukan setiap tahun begitu juga dengan zakat harta yang diserahkan setahun sekali, maka ibadah haji adalah ibadah yang hanya diwajibkan sekali seumur hidup. Bagi muslim yang mampu hanya diwajibkan melaksanakannya sekali saja sehingga terbebaslah kewajiban itu darinya. Tuhan juga telah ridha dengan perbuatannya, dan hanya Dialah pemberi taufik. Sumber : 100 Tanya Jawab Tentang Haji dan Umrah, karya Prof Dr Yusuf Al-Qaradhawi http://www.al-kauny.com/index.php?option=com_k2&view=item&id=364:haji
http://www.mail-archive.com/jamaah@arroyyan.com/msg08377.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar