Selasa, 11 Oktober 2011

Dimudahkan Allah dari Manfaat SAR

Ada yang membekas di otak dan fikiranku tentang kisah haji sahabatku yang kebetulan tahun lalu dipanggil Allah untuk melaksanakan ibadah haji. Aku mengenal mereka dengan teramat dekat, bahkan dekat sekali. Mudah-mudahan kisah ini bisa bermanfaat bagi banyak orang.

 ***

Dengan ijin Allah, bersama istri tercintanya melalui embarkasi Solo mereka menunaikan rukun Islam yang kelima.

Aku yakin, mereka berangkat dengan modal keagamaan yang pas-pasan. Bahkan latar belakang keduanya pun bukan dari sekolah agama, apalagi pesantren. Namun kekuatan dan keyakinannya terhadap Allah lah yang membuat mereka begitu bersemangat untuk memenuhi panggilan Allah tersebut.

Mereka masuk dalam gelombang pertama perjalanan haji yang dimulai dari Madinah. Begitu mendarat di bandara King Abdul Aziz, doa pertama yang mereka ucapkan adalah, ''Ya Allah, hamba dan istri hamba ke sini untuk memenuhi panggilan-Mu, hamba ke sini adalah tamu-Mu, mustahil Engkau akan menelantarkan tamu-Mu. Jadikanlah aku dan istriku tamu yang baik bagi-Mu dan mudahkanlah segala urusanku .”

Turun dari pesawat Garuda, satu per satu penumpang kloter 36 dari Embarkasi Solo itu harus melalui pemeriksaan pasport dalam waktu yang cukup lama. Maklum, untuk jamaah yang menurut mereka masih muda disamping pemeriksaan pasport masih harus di foto dulu. Selesai pemeriksaan dan mengambil koper jamaah melakukan shalat jama’sebelum memulai perjalanan dari Mekkah ke Madinah yang jaraknya lebih dari 450 KM.

Baru mendengar jaraknya saja pikiranku sudah jauh menerawang menembus lorong waktu, membayangkan betapa beratnya perjalanan Rasulullah waktu hijrah kala itu. Hanya dengan kendaraan onta, dan sebagian lagi berjalan kaki, di tengah teriknya matahari dan luasnya gurun pasir ditambah lagi kejaran orang-orang kafir yang hendak membunuh Nabi dan pengikutnya. Tidak tahu lagi, berapa waktu yang diperlukan untuk itu. Beda jauh jauh dengan saat ini, di mana perjalanan bisa dilakukan dengan bus yang berAC selama 7-8 jam dan kereta hanya 30 menit. Sungguh, perintis jalan akan selalu lebih berat ujiannya dibanding kita yang di belakngnya.

Setelah sampai pondokan yang jaraknya sekitar 1.5 KM dari masjid Nabawi hari pertama di Madinah itu dilaluinya dengan berjalan kaki bersama teman satu kloter untuk memulai shalat Arbain. Shalat 40 waktu dimasjid Nabawi yang pahalanya 1000 kali lebih besar dari pada shalat di masjid yang lain kecuali masjidil Haram, yang justru pahalanya dilipatgandakan sampai 100.000 kali.

Masjid ini sangat indah dan modern. Jamaah laki – laki dan perempun di pisah-- sementara kapasitasnya mencapai 500.000 jamaah lebih. Setelah shalat Subuh dan ziarah ke makam Rasullah dan 2 sahabat terdekatnya (Abubakar dan Umar). Ia bersama istrinya, berjalan mengelilingimasjid yang luas dan indah itu. Dan justru disitulah kisah indahnya di mulai.

Kemuliaan Membantu

Setelah sampai ke titik awal yaitu halaman depan masjid dilihatnya seorang ibu dengan wajah khas Indonesia (logat Sumatra yang kental) mencoba memanggil setiap jamaah Indonesia yang kebetulan lewat. Beberapa orang yang ditanya kelihatan selintas saja berhenti kemudian meninggalkan ibu tersebut. Setelah beberapa kali seperti itu ibu itu terduduk sambil menangis. Karena penasaran, sahabatku dan istrinya mendatanginya. Setelah menjawab salam sambil masih menangis ibu tersebut cerita bahwa mulai masukmasjid tengah malam tadi sampai jam 9.00 pagi itu dia terpisah dengan anak perempuannya yang mendampinginginya dan tidak tahu jalan pulang ke pemondokan. Beberapa orang Indonesia yang kebetulan lewat sudah berusaha di tanyai. Tapi karena mereka kebetulan juga baru datang dan belum faham lokasi akhirnya tidak bisa banyak membantu.

Sahabatku kemudian meminta istrinya mengeluarkan sebotol air zam-zam yang selalu dibawanya setelah hendak pulang meninggalkan masjid. Ia mempersilahkan si ibu meminumnya, ibu itu kelihatan haus sekali, karena memang ternyata mulai tengah malam itu sang ibu belum makan dan minum karena memang tidak membawa bekal.

Setelah kelihatan mulai tenang, sahabatku mengajak ibu itu untuk istighfar, baru kemudian mulai di tanya: “Ibu, kita istighfar dulu, baru nanti mohon kepada Allah agar di beri jalan.”

Si Ibu itu mengangguk tanda setuju. Setelah istighfar, ia mulai panjang lebar bercerita. Katanya, ketika masuk masjid, banyaknya jamaah membuatnya  terpisah dengan anaknya. Tepatnya setelah shalat dicarinya anaknya dengan hampir mengelilingi masjid tetap juga tidak ketemu. Nomor Handphone nyapun tidak bisa dihubungi, termasuk nomor teman – teman yang satu regu dengannya. Padahal dicoba untuk menghubungi keluarga di tanah air normal saja.

Tanda keagungan dan kebesarana Allah sebagai pengatur seluruh alam pun muncul. Sahabatku mencoba menghubungi nomor handphone anaknya. Alhamdulillah ternyata nyambung. Dari seberang, anak perempuannya menyahut, ''Wa alaikum salam, dari siapa ya ?'' tanyanya. Sahabatku akhirnya menjelaskan jika ia bertama ibundanya yang tak paham arah.

Singkat cerita, mereka akhirnya janji bertemu tepat di dekat pintu masuk khsusus perempuan. Ibu itu mulai kelihatan ceria setelah anaknya bisa di hubungi dan akan segera menyusul di tempatnya berada.

Benar saja.Tangis meledak dari keduanya ketika bertemu di depan masjid Nabawi yang indah itu. Alhamdullah, bahkan saking senangnya ditengah tangisnya sang ibu sempat bertanya: “Nak saya harus membayar berapa, barangkali untuk pulsanya?“
''Ibu tak usah membayar, saya ini saudara ibu, saudara Muslim ibu, bukan siapa- siapa. Bisa membantu ibu saja, rasanya saya sudah bersyukur dan Alhamdulillah Allah memudahkan jalan ini,” begitu jawabnya sambil memohon pamit kepada ibu dan anaknya tersebut.

Rupanya, dalam waktu delapan hari di Madinah tersebut rasanya hampir tiap hari Allah memberi kesempatan sahabatku dan istrinya untuk bisa membantu jama'ah yang lain. Kadang ada yang minta ditunjukkan makam Rasulullah, ada yang minta diantar ke Raudhah, salah satu tempat yang mustajabah karena merupakan taman syurga. Atau jamaah yang bingung mencari tempat sandal ketika mau pulang karena memang semua pintu masjid bentuknya persis sama demikian juga tempat menyimpan sandal.

Sebenarnya ada nomor pintu dan nama pintu yang bisa diingat-ingat, demikian juga tempat menyimpan sandal. Tapi karena jumlah jama'ah yang sangat besar itu kadang membuat banyak orang jadi bingung, apalagi yang sudah sepuh (tua).

Dijalaninya semua itu dengan senang, maklum, di tanah air, temanku adalah Tim SAR.

Suatu hari, saat menjelang magrib dalam sebuah shaf sholat dan dalam keadaan sedang membaca al-Qur'an, ia tiba – tiba diangkat seorang Arab yang berpostur tinggi besar dan di pindahkan ke shaf belakangnya, dikumpulkan dengan jamaah dari berbagai negara.

Seketika air matapun meleleh. Dalam kepasarahannya sahabatku berdo'a, ''Ya Allah ampuni hamba-Mu kalau ini terjadi karena kesalahan hamba, rasanya hamba belum pernah sekalipun memindahkan atau mengganggu shaf seseorang bahkan anak kecil sekalipun, ampuniya Allah,” begitu permohonannya.

Masih dalam kebingungannya tiba – tiba di depan nya dihamparkan oleh beberapa anak kecil semacam plastik kecil memanjang seperti kain putih panjang yang biasa di gelar di masjid-masjid tanah air untuk tempat sujud .

Masih dalam istighfar-nya sahabatku semakin bingung ketika selanjutnya anak-anak itu dengan terampilnya menyiapkan gelas -gelas kecil dan piring plastik kemudian diisinya dengan buah korma yang belum diolah maupun yang sudah dibuat seperti dodol tapi tidak ditumbuk sampai halus. Gelas – gelas kecil itupun diisi semacam bandrek (minuman untuk daerah dingin). Ada juga semacam sambal tapi tidak terlalu pedas. Tepat saat Adzan Magrib dikumandangkan oleh muadzin dengan irama khas Madinah, sahabatku ditepuk oleh orang Arab yang mengangkatnya tadi untuk berbuka. Padahal saat itu dia sedang tidak berpuasa. Bahkan ia dilayani bak tamu, dia disuruh mencoba semua yang dihidangkan termasuk buah anggur hijau yang masih sangat segar. Walaupun dengan bahasa yang kurang nyambung karena yang di shaf itu terdiri dari berbagai bangsa, kehangatan dan keceriaan mereka sangat terasa. Sebelum iqomah, tempat berbuka puasa tadi sudah dibersihkan oleh anak–anak yang sepertinya sudah terbiasa dengan kegiatan seperti itu. Selesai jamaah Magrib dalam sujud terakhirnya sahabatku berdo'a, ''Ya Allah, Alhamdulillah, kini aku mengerti maksud-Mu .”

Rupanya, kejadian seperti itu berulang ketika hari Kamis sore menjelang Magrib. Kalau pada Seninnya sahabatku mengambil shaf di belakang makam Rasulullah, kali ini sebelah kanan tetapi agak jauh dengan makam Rasulullah. Pada saat Magrib tiba, sahabatku ditepuk pundaknya oleh seseorang yang ternyata mengantar satu piring ta'jil lengkap dengan minumnya. Dalam bahasa Arab yang sebagian dia mengerti sahabatku dipersilahkan untuk berbuka puasa.Sekali lagi saat itu dia sedang tidak berpuasa.Subhanallah...

Selesai Arbain di Madinah, rombongan menuju ke Mekkah untuk melaksanakan umroh wajib.Rombongan bus behenti di Azziziah Janubiah 2, yang jaraknya sekitar 7-8 km dari Masjidil Haram. Kebetulan pemondokan sahabatku bersebelahan dengan Saudi Post, jadi agak mudah menandainya atau sebagai patokan kalau harus pulang naiktaksi.

Pembagian kamar pun dimulai sesuai regu masing-masing. Setelah pembagian kamar selesai, tiba- tiba kamar sahabatku diketuk pintunya oleh pak Dwi (Ketua rombongan klotern 36 Blora) beserta 1 orang dokter dan 2 perawatnya. Menurut mereka kamar tersebut cocok untuk kamar team kesehatan karena letaknya strategis dan dekat dengan lift. Kembali sahabatku tersenyum ketika kamar itu diminta untuk team kesehatan dan perawatan jamaah yang sakit. Tapi, sekali lagi Allah Maha Pemurah, ketika bersama istirinya dan regu yang diminta pindah itu menuruni lantai 3, tiba – tiba ada yang menawari kamar kosong di lantai 2, bersebelahan dengan jama'ah haji dari kabupaten Tegal.

Pada malam menjelang wukuf di Arofah kebetulan saat itu hujan besar sehingga tenda dan alasnya semua basah. Beberapa jama'ah kebingungan mencari tempat tidur yang tidak terlalu basah untuk bisa sekedar istirahat karena besuk paginya harus mengikuti wukuf. Saat itu sahabatku kebetulan membawa tikar yang ukurannya tidak terlalu besar 2 x 4 m. Begitu digelar beberapa jama'ah yang sudah sepuh mendaftar untuk tidur di tikar itu, sehingga langsung penuh, bahkan sahabatku justru tidak kebagian.

''Ya Allah, mereka jauh lebih membutuhkan dari pada aku. Sedang aku telah Engkau beri kesempatan untuk berlatih di medan yang lebih berat dari ini di tanah air, maka tambahkanlah kesyukurankuya Allah.”

Akhirnya semalam dia tidur di tikar yang basah dengan baju ihromnya dan alhamdulillah, sewaktu Subuh yang ditempati tidur itupun jadi kering.

Tikar favorit

Khotbah wukuf hari itu banjir air mata. Semua dosa-dosa seperti di depan mata, sementara amal-amal kebaikan semakin tak nampak. Apalagi pada saat do'a wukuf yang kebetulan dipimpin oleh KH.Jufri dan bergiliran dengan 3 ustadz lainnya  tangis jamaah semakin menjadi. Teringat kerdilnya kita di hadapan sang Maha Agung, sang Raja diraja, membayangkan pengadilan di padang Ma'hyar kelak. Selesai wukuf sahabatku berdzikir dan membaca al-Qur'an di depan tenda. Tanpa terasa dia melihat seseorang yang sudah lebih dari 3 kali melintas di depannya dengan membawa handuk dan peralatan mandi. Karena penasaran ditanyailah orang tersebut. Ternyata selesai mandi, jama'ah asal Jakarta tersebut tidak menemukan tendanya, walaupun di atas tenda rombongan biasanya dipasang tanda daerah. Sudah cukup lama dia berkeliling, tetapi tetap tidak ketemu juga. Sahabat saya mengajak orang tersebut istighfar kemudian bersama-sama mencari tendanya.

Alhamdulillah, tak lama kemudian nampak lokasi tenda Jakarta ia disambut rekan-rekannya juga sudah berusaha mencari karena cukup lama tidak kembali ke tenda. Setelah bertemu teman satu rombongannya bapak tersebut mencoba melihat tempat mandinya yang ternyata sangat dekat dengan tenda. Masya Allah.

Perjalanan berlanjut ke Mina. Setelah pembagian tenda di maktab 31, sekali lagi tenda yang ditempati sahabatku diminta lagi untuk kesehatan karena kebetulan letaknya pas di persimpangan dan kebetulan semua tenda penuh sesak. Sahabatku hanya titip istrinya untuk tetap di tenda itu sekaligus bisa membantu team kesehatan bila diperlukan. Berbekal tikar sahabatku tidur di luar tenda yang jutru sangat indah bisa menikmati indahnya malam di Mina. Namun baru digelar beberapa menit tikar kecil itupun segera penuh. Bahkan pak Dwi, Ketua rombongan dan Ust Salim, seorang hafidz lulusan Mesir itupun bergabung. Kemudian beberapa jama'ah dari kloter lain juga bergabung dengan membawa tikar masing-masing. Dalam waktu sekejap area itu berubah menjadi area favorit jama'ah.

Ada yang sekedar numpang tidur, ada juga yang sekedar bersilaturahim. Hari kedua di Mina setelah melempar jumrah aqobah ada jama'ah yang sudah umur tidak menemukan tendanya. Melihat tanda pengenal yang dia pakai orang tersebut berasal dari Pakistan. Sayang beliau tidak bisa bahasa Ingris ataupun bahasa Arab dan hanya berbahasa daerah. Walaupun tidak bisa berbahasa Arab, sahabatku berusaha menolong orang ini. Setelah diskusi dengan ketua rombongan yang kebetulan disitu, Allah kembali memberi jalan. Sahabatku ingat pada saat mau masuk ke Maktab sempat melewati maktab lain yang salah satu pengelola cateringnya sepertinya orangPakistan. Setelah dicari beberapa saat ketemu dengan maktab 27, di situ nampak 3 orang yang sedang menyiapkan makan untuk jamaah.

Dengan keberanian sahabatku bertanya kepada salah seorangnya, ''Anta Pakistan ?” Rupanya yang ditanya juga faham bahasa Arab yang sepotong itu. ''Na'am, “ jawabnya singkat. Langsung saja pak tua itu ditemukan dengan orang yang sebahasa. Alhamdulillah, komunikasinya jadi nyambung.

Karena ikut nafar awal, sahabatku meninggalkan Mina pada 12 Dhulhijah untuk kembali ke pemondokan di Aziziah Janubiah, setelah melakukan thawaf ifadhoh dan melempar jumrah ula, wustho dan aqobah. Sambil menunggu jadwal kembali ke tanah air sisa waktu biasanya digunakan jamaah untuk untuk shalat di Masjidil Haram atau sebagian lagi mengerjakan umroh sunnah.

Sekitar jam 10 pagi itu sahabatku sedang menunggu jamaah yang lain di depan pemondokan untuk bersama-sama berangkat ke Masjidil Haram. Belum lama berselang, dilihatnya seorang dengan pakain ihrom yang bertanya kepada petugas hotel. Pembicaraanpun tidak nyambung, karena penjaga hotel/pemondokan berasal dari Yaman dengan bahasa Arabnya sedangkan bapak yang datang tidak ngerti juga bahasa Arab maupun Ingris. Menurut teman – teman jamaah yang sudah duluan duduk di lobby pemondokan orang tersebut sudah berkali-kali masuk ke hotel tersebut kemudian pergi jalan lagi dan masuk ke situ lagi. Sahabatku berfikir pasti ini orang tersesat untuk kembali ke pemondokannya setelah  pulang dariMasjidil Haram . Cuman yang jadi masalah adalah faktor bahasa. Rupanya Allah tetaplah Maha Pemurah dan Maha mengatur segala urusan. Setelah berfikir keras sahabatku melirik ke identitas yang dipakai oleh orang tersebut. Tak tahu dengan bahasa apa, tetapi ada tertulis Ubejkistan dan beberapa digit angka di bawahnya. Iseng – iseng dicatatnya angka tersebut barangkali nomor telepon.

Beberapa saat kemudian ada petugas kesehatan dari Kabupaten Tegal terlihat keluar dari pintu lift. Karena kebetulan sahabatku tidak membawa HP, sahabatku mendekati petugas kesehatan tersebut.

''Assalamu alaikum, mbak saya kebetulan tidak membawa HP, bapak ini tersesat sejak pagi, tidak bisa bahasa Ingris maupun Arab. Saya mencatat angka ini dari identitasnya, mudah-mudahan ini nomor telepon perwakilan negaranya, karena hanya ini yang bisa kami baca sebab tulisan yang lain saya nggak ngerti.”

Petugas kesehatan tadi mencoba mendial nomor tersebut dari HP nya. Alhamdulillah diangkat dan benar itu nomor telepon. Masalah kedua muncul karena yang di seberang tidak mengerti bahasa Ingris sedang petugas kesehatan tadi juga tidak bisa bahasa Arab. Cepat – cepat sahabatku memintaHP nya untuk mempersilahkan bapak tadi agar ngomong langsung. Setelah beberapa saat ngomong bapak tadi mulai kelihatan ceria. A lhamdulillah akhirnya di jemput dari perwakilan negaranya dengan tidak lupa sempat menaruh tangan kanannya di dada kiri sebagai tanda terimakasih.

Malamnya setelah pulang dari Masjidil Haram beberapa jamaah kloter 36 pada ngobrol, termasuk pak Dwi. Mereka sepakat setiap ada orang hilang atau kesasar diarahkan ke sahabatku. Bahkan setiap kegiatan yang melibatkan banyak jamaah selalu saja sahabatku ini yang dijadikan team penyapu bersama istrinya. Mereka merasa nyaman setiap ada sahabatku di deretan paling belakang. Dan bagi sahabatku, ini adalah kemurahan Allah yang memberikan jalan kebaikan dengan apa yang selama ini ditekuninya, dunia Search and Rescue. Sungguh Allah telah membuka pintu kebaikan untuk dia dan istrinya. Apalagi disamping kemurahan Allah selama pelaksanaan haji dengan tidak pernah kekurangan makanan atau yang lain.

Allah masih memanjakannya pada hari terakhir setelah thawaf wada atau thawaf perpisahan. Sebuah hari yang sangat berat untuk dilewati, karena harus pamit meninggalkan Ka'bah,Masjidil Haram maupun masjid Nabawi. Setelah rombongan sampai di bandara King Abdul Aziz dan semua jamaah antri untuk check in dan check barang bawaan jamaah, sahabatku harus melalui pintu pemeriksaan bawaan termasuk air zam-zam. Saat itu sahabatku membawa 2 jerigen kecil 2 liter yang ditaruh di jaket gunung yang biasa dia pakai.

Beberapa jamaah yang membawa bawaan diluar koper yang disediakan semua disita termasuk botol – botol yang berisi air zam-zam.

'' Ya Allah , hamba-Mu akan pamit dari tanah Haram ini, maka jadikanlah air zam-zam yang kubawa ini oleh-oleh untuk keluargaku, biar mereka juga merasakan besarnya nikmat dan kemurahan-Mu. “

Alhamdulillah, do'anya dikabulkan. Oleh penjaga pintu scan justru dirangkulnya sahabatku sembari hanya menyuruh melepas jaket dan langsung diminta masuk tanpa pemeriksaan yang ketat seperti jamaah yang lain. Bahkan diminta membuka sepatu atau dompetpun tidak. Dan air zam-zam pun boleh dibawa. Subhanallah! Begitu juga istrinya di pintu yang lain, merasakan hal yang sama. 2 botol kecil air zam-zam yang dibawanya pun di izinkan untuk dibawa .

Begitu sampai di pesawat sambil menunggu seluruh jamaah selesai pemeriksaaan dan memasuki pesawat sahabatku memanfaatkan waktu untuk memberi kabar ke tanah air . Berbekal pulsa isi ulang senilai 10 Riyal atau setara Rp 25.000 yang dibelinya sebelum berangkat ke bandara, dia mulai menghubungi ibunya. Tentu saja dalam waktu sekitar 4 menit pulsa habis. Tapi, rupanya, Allah menunjukkan kemurahan-Nya. Begitu di tutup, tiba-tiba muncul SMS yang memberikan bonus pulsa senilai 17 Riyal. Kesempatan itupun digunakan untuk menghubungi ibu mertuanya sampai habis. Muncul lagi SMS bonus pulsa senilai 23 riyal. Akhirnya, gantian istrinya yang menelpon ibu dan ibu mertuanya di Cepu dan Blora.

Selesai menelpon datang lagi SMS bonus pulsa senilai 19 Riyal . Digunakan lagi menghubungi bapak dan bapak mertua. Begitu selesai tenyata masih dapat lagi 12 Riyal dan kembali digunakan untuk menghubungi adik – adiknya. Setelah semua dihubungi barulah sahabatku sadar bahwa Allah sedang memberi satu lagi ''tanda mata“ kepada dia dan istrinya.

Padahal sangat banyak nikmat yang diberikan-Nya selama haji itu. Salah satunya dalam kloter 36 tersebut dia berangkat bersama salah satu guru TK nya, bu Ninik guru SD nya, masih lagi 4 orang guru SMA nya. Ada pak Harto guru Fisika, pak Kardi wakil Kepsek waktu itu, pak Giyono guru bahasa Indonesia dan pak Sukawi yang sering mengajak bernostalgia waktu sahabatku sekolah di SMA 1 Blora, serta teman sekelasnya dulu mas Heru Marthono yang selalu diingatnya karena kesabarannya yang luar biasa mendampingi ibunya yang sudah sepuh dan dalam kondisi sakit. Mudah–mudahan semuanya mabrur. Belum lagi di kloter tersebut terdapat 4 pembimbing yang rata-rata pengasuh pondok pesantren salaf sehingga baginya selalu ada tempat bertanya kalau ada sesuatu masalah yang berkaitan dengan hukum syariat.

Begitu murahnya Allah pada dia dan istrinya dengan membentangkan jalan kebaikan baginya. Dan jalan itupun telah dihamparkan oleh Allah untuk kita semua, dengan beribu atau bahkan berjuta jalan kebaikan. Tinggal kita  memilih yangmana …....[dikirim Masjono/hidayatullah.com]

http://mujitrisno.multiply.com/journal/item/524

Tidak ada komentar:

Posting Komentar